http://ichigolova.tumblr.com/post/10549756272/salju-turun-mewarnai-bunga-sakura-kereta-mulai |
Langit
sedang tak bersahabat hari ini, ia menjatuhkan butir- butir permata untuk
sedikit berbagi apa yang ia rasakan hari ini. Hampir setengah jam aku berdiri
di halte depan kampus dan harus merelakan beberapa angkot lewat di depan mataku
dengan penumpang yang penuh.
“ Ayolah lima belas menit lagi
kereta akan tiba” entah sudah berapa kali aku melihat jam tanganku. Hujan yang
deras membuat banyak orang lebih memilih menggunakan angkutan umum.
Angkot biru yang kunanti menampakkan
batang hidungnya, satu yang ku harapkan semoga angkot tidak penuh lagi. Ku
ayunkan tangan kiriku untuk menghentikan angkot biru itu, Alhamdulillah hanya
ada lima orang yang ada di dalam angkot.
“Kota baru pak!”. Angkot segera
menepi tepat di depan pintu setasiun aku segera membayar dan segera bergegas
masuk untuk membeli tiket dan berharap semoga kuda besi itu tak meninggalkanku.
“ KA Penataran apa sudah berangkat?”
pertanyaanku mengalihkan pandangan petugas loket dari komputer ke arahku.
“ Hari ini terlambat sepuluh menit”.
sepertinya Dewi Fortuna masih bersamaku.
“Kepanjen satu” ku sodorkan uang
lima ribuan ke pada petugas. kuliah dengan naik kereta sangat meringankan biaya
transporasiku. Membunuh waktu yang paling ampuh adalah dengan membaca. Terhanyut
dengan novel yang ku baca tak terasa Kereta besi itu telah mengurangi
kecepatanya ketika memasuki setasiun.
Tangga- tangga untuk membantu
menaiki kereta telah di geser di tiap- tiap pintu gerbong. Berebut untuk masuk
sudah menjadi hal biasa untukku, baru saja satu kakiku menginjak lantai KA
seorang bapak – bapak dengan tas ransel bergegas turun dan menyenggolku.
“Huwaaaa..!!!” tubuhku terdorong
keluar, aku berusaha menggapai pegangan pintu namun gagal. Sesaat terlintas hal
buruk akan terjadi padaku namun semuanya buyar ketika seseorang meraih
tanganku. Caci maki penumpang yang melihat ketidak sabaran bapak – bapak tadi
bagaikan dengungan lebah di telingaku. Bagaimanapun juga aku telah menjadi pusat perhatian.
“Kamu baik – baik saja?” Seorang
lelaki muda bertanya padaku. Badanya yang tinggi tegap dan pandangan mata yang
teduh membuatku sedikit terpana, ia mengenakan seragam khas petugas KA.
Sepersekian detik aku terpana melihatnya, entah kenapa sebuah rasa mendesir di
hatiku.
“iya,
terimakasi” aku segera menarik tanganku yang masih di pegangnya. Sedikit salah
tingkah antara aku dengannya.
“Permisi”
aku segera meninggalkanya. Rasa hangat menjalar pada pipiku.
Kereta melaju meninggalkan stasiun
kota baru, tapi detak jantungku masih tak mau berhenti sejak kejadian tadi,
bayangan saat aku diselamatkan oleh petugas KA masih berkelebat di pelupuk
mataku.
“ Tiket baru.. tiket baru..” Segera
ku persiapkan tiketku. Namun betapa kagetnya aku ketika ku ketahui bawahwa
petugas yang memeriksa tiket adalah orang yang sama ketika menolongku tadi. Ia
tersenyum padaku tapi tak mengatakan apapun tentang kejadian tadi, entah apa
yang terjadi dengan wajahku yang memerah.
Hari ini perjalanan dari Kota Baru
ke Stasiun Kepanjen yang biasanya hanya satu jam kali ini seperti berjam – jam.
Kereta mulai memperlambat kecepatanya aku bersiap berdiri diujung gerbong agar
bisa cepat turun, tapi sepertinya tidak banyak penumpang yang turun di
gerbongku lebih tepatnya hanya aku.
“eh..” betapa kagetnya aku ketika
petugas yang tadi menolongku telah berdiri di pintu gerbong bersiap membantu
penumpang turun, tapi hanya ada aku di sana sebenarnya aku malu untuk
melihatnya tapi ia sudah terlanjur melihatku, kepalang basah aku pun berdiri
tak jauh darinya.
“ Turun di Kepanjen ya?” ia memulai
pembicaraan.
“Aku Bian” ia mengulurkan tangan.
Sebenarnya aku sudah tau jika namanya adalah Bian sejak tadi karena aku membaca
di name tagnya.
“Dea” aku menyambut uluran tanganya.
“Sering naik kereta?” ia bertanya
dengan senyum yang selalu tersunggging di wajahnya.
“ya setiap hari”. Bian bergegas
melompat turun meski kereta belum benar- benar berhenti, terdengan deritan besi
yang bergesekan dengan tanah yang sedikit memekakan telinga. Aku turun melalui
tangga yang tadi di ambil oleh Bian.
“ Hati – hati” Aku berhenti
melangkah ketika mendengar Bian mengucapakannya. Aku hanya menoleh dan
tersenyum padanya. Melangkah dengan senyum yang merekah di wajahku, terdengar
peluit kereta telah melanjutkan perjalanannya. Ah Bian namanya.
Kini aku selalu bersemangat untuk
pulang, entah sihir apa yang muncul saat insiden terpeleset tapi aku tetap
semangat menuju Stasiun kota lama meski hari hujan sekalipun. Jodoh atau
bagaimana aku tak tau aku selalu tersenyum ketika melihat sosok Bian entah saat
ia menarik tangga untuk penumpang atau ketika memeriksa tiket.
Kami sering menyapa saat bertemu
ketika pemeriksaan tiket yang tak ada satu menit itu, dan berbincang ringan di
pintu gerbong sepuluh menit sebelum aku turun jika di hitung aku hanya
berbincang dengannya sebelas menit saja setiap hari.
Ia orang yang ramah dan selalu
membuatku tersenyum ketika berbincang denganya, ia bisa mengundang desiran aneh
yang hadir di hatiku saat aku berbincang denganya. Anehnya ia tak pernah
meminta no ponsel ku meski berbicara selama sebelas menit sudah terjadi selama
tiga bulan.
“setap hari naik kereta sendiri?”
tanyanya di suatu hari saat aku hendak turun.
“ Iya teman- teman kuliah banyak
yang kos” jawabku.
“ Kenapa gak di jemput pacar?”. Oh
tuhan, pertanyaan yang paling ku benci, kenapa pertanyaan seperti ini harus
tercipta, sedangkan pacar bukan supir yang harus antar jemput kemanapun aku
pergi, selain itu aku juga tak memiliki pacar itulah fakta yang membuatku
membenci pertanyaan itu.
“ Tidak ada, lagi pula jika ada aku
juga tak nyaman jika menjadikan pacarku seolah olah orang yang bertanggung
jawab atas diriku padahal ia belum tentu menjadi suamiku” jawabku dengan nada
sinis yang tak bisa ku tutupi. Bukanya menjawab ia hanya tersenyum melihatku
dan melakukan kegiatan seperti biasanya, melompat sebelum kereta benar- benar
berhenti dan menyiapkan tangga. Aku turun tanpa mengucapkan sepatah katapun aku
cukup kesal dengan pertanyaanya, sangat di sayangkan karena hari itu adalah
hari terakhirku naik KA karena besok liburan semester telah tiba.
Dua minggu tak berjumpa dengan Bian
membuatku uring- uringan, dan ketika hari pertama kuliah di mulai lagi yang ku
nantikan adalah saat pulang naik kereta penataran an bertemu Bian. Karena
begitu semangatnya akupun tiba tiga puluh menit lebih awal dari jam kedatangan
kereta. Duduk sendiri di peron dan memandangi kereta yang datang dan pergi.
“ Hai apa kabar?” Bian telah duduk
di sampingku, aku terperanjat dengan kehadiranya yang tiba- tiba. Ia masih sama
dengan senyum khasnya dan seragamnya.
“Bian??? Sedang apa kamu disini?”
antara percaya dan tidak, bagaimana bisa ia yang selalu ada di kereta penataran
tiba- tiba duduk di sampingku padahal KA Penataran baru akan tiba tiga puluh
menit lagi.
“ Jangan melihatku seperti itu, aku
sekarang bertugas di Stasiun ini” dengan tenang menjawab pertanyaanyanku,
berbeda dengan hatiku yang berdegup tak karuan.
“ Kemana saja kamu, aku
merindukanmu” Bian melanjutkan bicaranya, masih dengan senyum yang sama.
Tunggu, dia mengatakan rindu padaku, aku serasa ingin pingsan. Tak ada satupun
kata yang terlontar dari bibirku aku hanya diam dan memandangi matanya berharap
ia hanya bergurau padaku.
“ Aku menyukaimu saat pertama
bertemu di stasiun ini empat bulan yang lalu”
“ Maukah kamu menjadi Kekasihku?
Berbicara denganmu meski hanya sebelas menit di kereta membuatku jatuh cinta
padamu, taukah kamu saat terakhir kita bertemu dan keesokan harinya aku tak melihatmu,
aku seperti orang gila yang selalu merindukanmu?” Ia berbicara panjang lebar,
ia juga tau bahwa kita selalu berbicara tak lebih dari sebelas menit saat di
kereta.
“ Maaf jika aku berbicara padamu
tentang perasaanku di tempat seperti ini, aku tak ingin kehilanganmu lagi” ia
menggenggam tanganku.
Sulit dipercaya bahwa ternyata ia
memiliki perasaan yang sama denganku. KA penataran perlahan memasuki setasiun.
“ Aku juga tak ingin kehilanganmu”
hanya itu kata yang mampu terucap, bahagia dan haru bercampur menjadi satu.
Kelegaan terpancar dari wajahnya, ia bergegas berdiri dengan masih menggenggam
tanganku berjalan mendekati kereta. Banyak pasang mata yang melihatku dan Bian,
terlalu menarik perhatian memangketika seorang petugas stasiun menggandeng
seorang gadis yang sebelumnya hanya duduk denganya beberapa menit yang lalu.
Bian menyiapkan tangga untukku dan
mengantarku sampai di kursiku. Sebelum turun kami bertukar no ponsel. Aneh
setelah berpacaran barulah kami saling bertukan no Ponsel. Kereta meninggalkan
Stasiun, dari kereta aku masih bisa melihat Bian melambaikan tangan sebelum
sosoknya tergantikan dengan deretan permukiman padat penduduk. Belum beberapa
menit kereta meninggalkan stasiun Bian mengirimiku sebuah pesan.
From
: Bian
Hati2
saat turun, jgn terpeleset. Ak tak ingin orang lain membantumu dan akhirnya
jatuh cinta pd mu selain aku.
Aku
tersenyum membaca pesanya. Stasiun Kota Lama adalah saksi saat aku pertamakali
berjumpa sekaligus memulai cerita cinta dan KA Penataran juga menjadi saksi
enam ratus enam puluh detik waktu yang ku habiskan dengannya untuk
bercengkrama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar