Sabtu, 06 Juni 2015

Kota Lama


http://ichigolova.tumblr.com/post/10549756272/salju-turun-mewarnai-bunga-sakura-kereta-mulai

Langit sedang tak bersahabat hari ini, ia menjatuhkan butir- butir permata untuk sedikit berbagi apa yang ia rasakan hari ini. Hampir setengah jam aku berdiri di halte depan kampus dan harus merelakan beberapa angkot lewat di depan mataku dengan penumpang yang penuh.

            “ Ayolah lima belas menit lagi kereta akan tiba” entah sudah berapa kali aku melihat jam tanganku. Hujan yang deras membuat banyak orang lebih memilih menggunakan angkutan umum.
            Angkot biru yang kunanti menampakkan batang hidungnya, satu yang ku harapkan semoga angkot tidak penuh lagi. Ku ayunkan tangan kiriku untuk menghentikan angkot biru itu, Alhamdulillah hanya ada lima orang yang ada di dalam angkot.
            “Kota baru pak!”. Angkot segera menepi tepat di depan pintu setasiun aku segera membayar dan segera bergegas masuk untuk membeli tiket dan berharap semoga kuda besi itu tak meninggalkanku.
            “ KA Penataran apa sudah berangkat?” pertanyaanku mengalihkan pandangan petugas loket dari komputer ke arahku.
            “ Hari ini terlambat sepuluh menit”. sepertinya Dewi Fortuna masih bersamaku.
            “Kepanjen satu” ku sodorkan uang lima ribuan ke pada petugas. kuliah dengan naik kereta sangat meringankan biaya transporasiku. Membunuh waktu yang paling ampuh adalah dengan membaca. Terhanyut dengan novel yang ku baca tak terasa Kereta besi itu telah mengurangi kecepatanya ketika memasuki setasiun.
            Tangga- tangga untuk membantu menaiki kereta telah di geser di tiap- tiap pintu gerbong. Berebut untuk masuk sudah menjadi hal biasa untukku, baru saja satu kakiku menginjak lantai KA seorang bapak – bapak dengan tas ransel bergegas turun dan menyenggolku.
            “Huwaaaa..!!!” tubuhku terdorong keluar, aku berusaha menggapai pegangan pintu namun gagal. Sesaat terlintas hal buruk akan terjadi padaku namun semuanya buyar ketika seseorang meraih tanganku. Caci maki penumpang yang melihat ketidak sabaran bapak – bapak tadi bagaikan dengungan lebah di telingaku. Bagaimanapun juga aku  telah menjadi pusat perhatian.
            “Kamu baik – baik saja?” Seorang lelaki muda bertanya padaku. Badanya yang tinggi tegap dan pandangan mata yang teduh membuatku sedikit terpana, ia mengenakan seragam khas petugas KA. Sepersekian detik aku terpana melihatnya, entah kenapa sebuah rasa mendesir di hatiku.
“iya, terimakasi” aku segera menarik tanganku yang masih di pegangnya. Sedikit salah tingkah antara aku dengannya.
“Permisi” aku segera meninggalkanya. Rasa hangat menjalar pada pipiku.
            Kereta melaju meninggalkan stasiun kota baru, tapi detak jantungku masih tak mau berhenti sejak kejadian tadi, bayangan saat aku diselamatkan oleh petugas KA masih berkelebat di pelupuk mataku.
            “ Tiket baru.. tiket baru..” Segera ku persiapkan tiketku. Namun betapa kagetnya aku ketika ku ketahui bawahwa petugas yang memeriksa tiket adalah orang yang sama ketika menolongku tadi. Ia tersenyum padaku tapi tak mengatakan apapun tentang kejadian tadi, entah apa yang terjadi dengan wajahku yang memerah.
            Hari ini perjalanan dari Kota Baru ke Stasiun Kepanjen yang biasanya hanya satu jam kali ini seperti berjam – jam. Kereta mulai memperlambat kecepatanya aku bersiap berdiri diujung gerbong agar bisa cepat turun, tapi sepertinya tidak banyak penumpang yang turun di gerbongku lebih tepatnya hanya aku.
            “eh..” betapa kagetnya aku ketika petugas yang tadi menolongku telah berdiri di pintu gerbong bersiap membantu penumpang turun, tapi hanya ada aku di sana sebenarnya aku malu untuk melihatnya tapi ia sudah terlanjur melihatku, kepalang basah aku pun berdiri tak jauh darinya.
            “ Turun di Kepanjen ya?” ia memulai pembicaraan.
            “Aku Bian” ia mengulurkan tangan. Sebenarnya aku sudah tau jika namanya adalah Bian sejak tadi karena aku membaca di name tagnya.
            “Dea” aku menyambut uluran tanganya.
            “Sering naik kereta?” ia bertanya dengan senyum yang selalu tersunggging di wajahnya.
            “ya setiap hari”. Bian bergegas melompat turun meski kereta belum benar- benar berhenti, terdengan deritan besi yang bergesekan dengan tanah yang sedikit memekakan telinga. Aku turun melalui tangga yang tadi di ambil oleh Bian.
            “ Hati – hati” Aku berhenti melangkah ketika mendengar Bian mengucapakannya. Aku hanya menoleh dan tersenyum padanya. Melangkah dengan senyum yang merekah di wajahku, terdengar peluit kereta telah melanjutkan perjalanannya. Ah Bian namanya.
            Kini aku selalu bersemangat untuk pulang, entah sihir apa yang muncul saat insiden terpeleset tapi aku tetap semangat menuju Stasiun kota lama meski hari hujan sekalipun. Jodoh atau bagaimana aku tak tau aku selalu tersenyum ketika melihat sosok Bian entah saat ia menarik tangga untuk penumpang atau ketika memeriksa tiket.
            Kami sering menyapa saat bertemu ketika pemeriksaan tiket yang tak ada satu menit itu, dan berbincang ringan di pintu gerbong sepuluh menit sebelum aku turun jika di hitung aku hanya berbincang dengannya sebelas menit saja setiap hari.
            Ia orang yang ramah dan selalu membuatku tersenyum ketika berbincang denganya, ia bisa mengundang desiran aneh yang hadir di hatiku saat aku berbincang denganya. Anehnya ia tak pernah meminta no ponsel ku meski berbicara selama sebelas menit sudah terjadi selama tiga bulan.
            “setap hari naik kereta sendiri?” tanyanya di suatu hari saat aku hendak turun.
            “ Iya teman- teman kuliah banyak yang kos” jawabku.
            “ Kenapa gak di jemput pacar?”. Oh tuhan, pertanyaan yang paling ku benci, kenapa pertanyaan seperti ini harus tercipta, sedangkan pacar bukan supir yang harus antar jemput kemanapun aku pergi, selain itu aku juga tak memiliki pacar itulah fakta yang membuatku membenci pertanyaan itu.
            “ Tidak ada, lagi pula jika ada aku juga tak nyaman jika menjadikan pacarku seolah olah orang yang bertanggung jawab atas diriku padahal ia belum tentu menjadi suamiku” jawabku dengan nada sinis yang tak bisa ku tutupi. Bukanya menjawab ia hanya tersenyum melihatku dan melakukan kegiatan seperti biasanya, melompat sebelum kereta benar- benar berhenti dan menyiapkan tangga. Aku turun tanpa mengucapkan sepatah katapun aku cukup kesal dengan pertanyaanya, sangat di sayangkan karena hari itu adalah hari terakhirku naik KA karena besok liburan semester telah tiba.
            Dua minggu tak berjumpa dengan Bian membuatku uring- uringan, dan ketika hari pertama kuliah di mulai lagi yang ku nantikan adalah saat pulang naik kereta penataran an bertemu Bian. Karena begitu semangatnya akupun tiba tiga puluh menit lebih awal dari jam kedatangan kereta. Duduk sendiri di peron dan memandangi kereta yang datang dan pergi.
            “ Hai apa kabar?” Bian telah duduk di sampingku, aku terperanjat dengan kehadiranya yang tiba- tiba. Ia masih sama dengan senyum khasnya dan seragamnya.
            “Bian??? Sedang apa kamu disini?” antara percaya dan tidak, bagaimana bisa ia yang selalu ada di kereta penataran tiba- tiba duduk di sampingku padahal KA Penataran baru akan tiba tiga puluh menit lagi.
            “ Jangan melihatku seperti itu, aku sekarang bertugas di Stasiun ini” dengan tenang menjawab pertanyaanyanku, berbeda dengan hatiku yang berdegup tak karuan.
            “ Kemana saja kamu, aku merindukanmu” Bian melanjutkan bicaranya, masih dengan senyum yang sama. Tunggu, dia mengatakan rindu padaku, aku serasa ingin pingsan. Tak ada satupun kata yang terlontar dari bibirku aku hanya diam dan memandangi matanya berharap ia hanya bergurau padaku.
            “ Aku menyukaimu saat pertama bertemu di stasiun ini empat bulan yang lalu”
            “ Maukah kamu menjadi Kekasihku? Berbicara denganmu meski hanya sebelas menit di kereta membuatku jatuh cinta padamu, taukah kamu saat terakhir kita bertemu dan keesokan harinya aku tak melihatmu, aku seperti orang gila yang selalu merindukanmu?” Ia berbicara panjang lebar, ia juga tau bahwa kita selalu berbicara tak lebih dari sebelas menit saat di kereta.
            “ Maaf jika aku berbicara padamu tentang perasaanku di tempat seperti ini, aku tak ingin kehilanganmu lagi” ia menggenggam tanganku.
            Sulit dipercaya bahwa ternyata ia memiliki perasaan yang sama denganku. KA penataran perlahan memasuki setasiun.    
            “ Aku juga tak ingin kehilanganmu” hanya itu kata yang mampu terucap, bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Kelegaan terpancar dari wajahnya, ia bergegas berdiri dengan masih menggenggam tanganku berjalan mendekati kereta. Banyak pasang mata yang melihatku dan Bian, terlalu menarik perhatian memangketika seorang petugas stasiun menggandeng seorang gadis yang sebelumnya hanya duduk denganya beberapa menit yang lalu.
            Bian menyiapkan tangga untukku dan mengantarku sampai di kursiku. Sebelum turun kami bertukar no ponsel. Aneh setelah berpacaran barulah kami saling bertukan no Ponsel. Kereta meninggalkan Stasiun, dari kereta aku masih bisa melihat Bian melambaikan tangan sebelum sosoknya tergantikan dengan deretan permukiman padat penduduk. Belum beberapa menit kereta meninggalkan stasiun Bian mengirimiku sebuah pesan.
            From : Bian
                        Hati2 saat turun, jgn terpeleset. Ak tak ingin orang lain membantumu dan akhirnya jatuh cinta pd mu selain aku.

            Aku tersenyum membaca pesanya. Stasiun Kota Lama adalah saksi saat aku pertamakali berjumpa sekaligus memulai cerita cinta dan KA Penataran juga menjadi saksi enam ratus enam puluh detik waktu yang ku habiskan dengannya untuk bercengkrama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar